Pada satu malam di bulan Ramadan yang lalu, setelah selesai mengerjakan shalat tarawih di masjid Al-Hasanah sebelah utara Mirota Kampus, Yogyakarta, seseorang yang berprofesi sebagai tukang permak jeans yang mengeluhkan moralitas anak muda zaman ini. Beliau bercerita bahwa ada anak perempuan yang datang ke tempat mangkalnya sambil membawa celana panjang jeans yang masih utuh, lalu perempuan itu meminta kepada beliau agar celana tersebut dipotong sehingga hanya tersisa 20 cm dari pinggang, yang nantinya akan dia kenakan.
Otomatis, dengan bijak, bapak ini menolak permintaan si gadis. Hal ini karena bapak ini memiliki prinsip bahwa jasa pemotongan celana jeans dari konsumen wanita yang dia layani adalah jika dipotong di bawah lutut. Jika harus memotong lebih pendek dari batas itu, bapak ini akan menolak order yang datang. Tepatkah kaedah yang dianut oleh bapak tersebut? Bukankah bagian bawah lutut wanita masih terhitung aurat yang wajib ditutupi?
Lalu, halalkah uang yang didapatkan oleh si bapak yang berprofesi sebagai tukang permak jeans? Bolehkah berprinsip bahwa kemaksiatan dengan pakaian “ala kadarnya” tersebut adalah urusan konsumen?
Jawaban terkait dengan pertanyaan di atas bisa dijumpai dalam tanya jawab berikut ini:
Pertanyaan, “Aku adalah seorang penjahit. Aku membuat kain penutup untuk menghiasi kursi pengantin yang umumnya melangsungkan pesta pernikahan yang tidak sejalan dengan aturan Islam. Bahkan, dalam pesta pernikahan tersebut terdapat berbagai kemungkaran dan hal-hal yang haram. Apakah aku berdosa dengan perbuatanku ini? Apakah uang upah yang kudapatkan adalah uang yang haram?”
Jawaban, “Menjahitkan baju, kain gorden, dan kain hiasan yang digunakan untuk mendukung hal-hal yang haram adalah perbuatan yang terlarang. Di antara contohnya adalah menjahitkan kain gorden yang dipakai untuk ruangan dansa, disko atau pun nyanyian, menjahit kain sutra yang hendak dipakai oleh laki-laki, menjahitkan pakaian ketat atau pakaian yang mengumbar aurat untuk orang yang diyakini atau ada sangkaan kuat bahwa dia akan memakai pakaian tersebut dan mempertontonkannya kepada laki-laki ajnabi (bukan mahram), dan bentuk-bentuk lain yang intinya adalah membantu kesuksesan perbuatan yang haram.
Kaidah dalam masalah ini adalah ‘haram hukumnya menjual, membuatkan, dan bekerja dengan suatu pekerjaan yang mendukung kemaksiatan kepada Allah‘.
( وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (المائدة/ 2
Dalil kaidah di atas adalah firman Allah, yang artinya, ‘Dan hendaknya kalian tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan perbuatan yang kelewat dari batas yang diperbolehkan. Dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya, Allah itu sangat keras siksaannya.’ (QS. Al-Maidah:2)
Ketika menjelaskan ayat di atas, Syekh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan, ‘Hendaknya sebagian kalian menolong sebagian yang lain untuk melakukan birr (kebaikan). ‘Birr‘ adalah semua hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa amalan badan atau pun amalan hati, baik terkait dengan hak Allah atau pun hak sesama manusia.
Pengertian ‘takwa’ dalam ayat ini adalah meninggalkan semua perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa amalan badan atau pun amalan hati. Semua bentuk kebaikan yang diperintahkan atau pun kejelekan yang dilarang untuk dilakukan itu seharusnya dilakukan oleh seorang hamba baik, tanpa bantuan orang lain maupun dengan bantuan saudara seiman. Bantuan tersebut boleh jadi berupa kata-kata yang memotivasi atau pun tindakan nyata yang membantu terwujudnya hal tersebut.
Yang dimaksud dengan ‘dosa’ adalah kelancangan untuk melakukan berbagai maksiat yang menyebabkan pelakunya berdosa.
Yang dimaksud dengan ‘tindakan kelewat batas’ adalah menzalimi darah, harta, dan kehormatan orang lain. Semua bentuk maksiat dan kezaliman adalah suatu hal yang wajib dihindari oleh setiap orang, kemudian hendaknya dia membantu orang lain untuk meninggalkannya.
Sesungguhnya, Allah itu amat keras siksaannya terhadap semua orang yang durhaka kepada-Nya dan terhadap semua orang yang dengan lancang menerjang hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Jauhilah hal-hal yang diharamkan agar kalian tidak tertimpa azab di dunia maupun di akhirat.’ (Tafsir As-Sa’di, hlm. 218)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Orang yang membantu orang lain untuk bermaksiat kepada Allah adalah orang yang berdosa karena dia telah menolong orang lain untuk berbuat dosa dan permusuhan. Oleh karenanya, Nabi melaknat khamar, pembuatnya, orang yang memerintahkan untuk membuatnya (baca: pemilik pabrik khamar), orang yang membawa khamar kepada konsumen, pemesan khamar, penjual, pembeli, orang yang sekadar menuangkan khamar, peminumnya, dan orang yang menikmati hasil penjualan khamar.
Mayoritas orang-orang yang dilaknat di atas, semisal pembuat, pembawa, dan penuang khamar hanyalah berstatus membantu orang yang hendak meminumnya. Oleh karena itu, terlarang menjual senjata kepada orang yang akan menggunakan senjata tersebut dalam peperangan yang haram, semisal perang untuk menumpas orang Islam yang tidak bersalah atau perang saudara sesama muslim karena alasan yang tidak jelas.
Siapa saja yang mendapatkan uang karena menjual barang yang haram atau karena menjual jasa yang terlarang, semisal uang upah pemikul khamar, upah pembuat palang salib, upah melacur, dan semisalnya, uang-uang tersebut hendaknya disedekahkan dan pelakunya hendaknya bertobat kepada Allah dari pekerjaan yang haram itu.
Menyedekahkan uang-uang tersebut adalah bentuk kafarah (penghapus dosa) untuk pekerjaan haram yang telah dilakukan. Uang tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh orang yang mendapatkannya karena uang tersebut adalah penghasilan yang haram. Uang tersebut juga tidak boleh dikembalikan kepada orang yang memberikannya karena orang yang memberi uang tersebut telah mendapatkan hasil yang dia inginkan. Oleh sebab itu, satu-satunya pilihan: uang tersebut disedekahkan, sebagaimana yang ditegaskan oleh sebagian ulama. Demikianlah yang difatwakan oleh Imam Ahmad, para ulama Malikiah dan selainnya terkait dengan upah pembawa khamar.’ (Majmu’ Fatawa, 22:141–142)
Dalam Syarh ‘Umdah, 4:385–387, Ibnu Taimiyyah menukil pendapat Imam Ahmad yang mengharamkan profesi menjahitkan baju seragam para tentara yang suka berbuat aniaya, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa jika ada penjahit yang melakukannya maka penjahit tersebut telah menolong para tentara tadi untuk melakukan tindakan aniaya.
Setelah itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Setiap pakaian–yang ada kemungkinan besar untuk digunakan untuk melakukan kemaksiatan–tidak boleh diperjualbelikan dan seseorang tidak boleh menjahitkannya untuk kepentingan orang yang akan memanfaatkan pakaian tersebut untuk melakukan kemaksiatan dan tindakan aniaya. Demikian pula dengan semua barang yang pada asalnya mubah namun diketahui bahwa barang tersebut akan dimanfaatkan untuk melakukan kemaksiatan.’
Berdasarkan uraian di atas maka menjahitkan kain penutup kursi pengantin, yang kursi tersebut akan dimanfaatkan untuk melakukan dosa dan kemaksiatan, adalah pekerjaan yang haram. Oleh karena itu, uang pendapatan yang didapatkan adalah uang yang haram. Anda berkewajiban untuk bertobat kepada Allah dan menyedekahkan uang yang Anda dapat karena pekerjaan tersebut. Semoga Allah menerima tobat Anda dan menggantikan untuk Anda pekerjaan yang lebih baik.”
Diterjemahkan dari http://www.islamqa.com/ar/ref/103789
Artikel www.PengusahaMuslim.com